Pertanyaan: Berapakah jarak perjalanan seorang musafir sehingga ia diperbolehkan melakukan qashor? Dan apakah dibolehkan menjama’ tanpa mengqoshor?
Jawab: Sebagian ulama berpendapat bahwa jarak perjalanan yang diperbolehkan untuk mengqashor sholat yaitu sejauh 80 KM. Ulama yang lain berpendapat jaraknya sesuai dengan adapt yang berlaku (dinegeri itu, pent). Yaitu jika ia melakukan perjalanan yang menurut adat sudah disebut safar, maka ia telah melakukan safar meskipun jaraknya belum sampai 80 KM. Adapun jika perjalanannya menurut adapt belum dikatakan safar meskipun jaraknya 100 KM, maka ia belum disebut safar.
Pendapat terakhir inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah. Yang demikian ini karena Allah dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak menentukan jarak tertentu untuk diperbolehkan melakukan qoshor.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata:”Apabila Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pergi sejarak 3 mil atau farsakh, maka beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam mengqoshor sholat, beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam sholat dua rokaat” (HR. Muslim no. 691).
Pendapat Syaikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah ini lebih dekat kepada kebenaran.
Dan tidak mengapa saat terjadi perbedaan pendapat tentang batasan adapt, ia mengambil pendapat tentang batasan jarak, karena hal ini juga dikatakan oleh sebagian ulama dan para imam mujtahid. Namun jika masalahnya jelas, maka menggunakan batasan adapt kebiasaan adalah yang tepat.
Adapun pertanyaan apakah boleh menjama’ jika dibolehkan mengqoshor? Kami katakana: Jama’ itu tidak terkait dengan qoshor tetapi terkait dengan kebutuhan. Kapan saja seseorang butuh melakukan sholat jama’ baik saat muqim (=tinggal) ataupun saat safar, maka ia boleh menjama’. Oleh karena itu manusia melakukan jama’ saat hujan yang menyulitkan mereka untuk kembali ke masjid juga melakukan jama’ bila terjadi angin kencang di musim dingin yang menyulitkan mereka keluar menuju Masjid juga melakukan jama’ jika ia takut keselamatan hartanya atau yang semisalnya.
Dalam Shahih Muslim dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:
جمع رسول الله صلى الله عليه و سلم بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء بالمدينة في غير خوف ولا مطر (رواه مسلم: 705).
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ sholat Dhuhur dan Ashar, Maghrib dan ‘Isya di Madinah bukan karena ketakutan ataupun hujan” (HR. Muslim no. 705).
Mereka bertanya: Apa yang diinginkan beliau? Beliau menjawab: Agar tidak menyulitkan ummatnya, maksudnya: agar tidak kesulitan dengan meninggalkan jama’.
Inilah rambu-rambunya, setiap kali seseorang merasa repot dengan tidak melakukan jama’ maka ia boleh melakukannya. Namun jika ia tidak menghadapi kesulitan maka ia tidak usah menjama’, namun safar adalah tempat kesulitan jika ia tidak melakukan jama’. Untuk itu dibolehkan bagi musafir (=orang yang bepergian) untuk menjama’ sholat baik saat dalam perjalanan atau saat singgah, hanya saja jika ia sedang dalam perjalanan maka menjama’nya lebih utama sedangkan saat singgah meninggalkan jama’ lebih utama. Kecuali jika orang itu singgah di suatu tempat yang ditegakkan padanya sholat jama’ah, maka ia wajib menghadiri sholat jama’ah. Saat itu ia tidak boleh menjama’ dan mengqoshor. Namun jika ia ketinggalan jama’ah ia mengqoshor sholatnya tanpa menjama’, kecuali jika dibutuhkan untuk menjama’.
Dinukil dari: Majmu’ Fatawa Arkanil Islam, soal no: 311.
Surat Kepada Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin
Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin semoga Allah menjaga dan memelihara anda.
Assalamu ‘alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Pada masa lalu kami memperhatikan manusia banyak melakukan jama’ dan mempermudahnya. Menurut pendapat anda apakah pada kondisi dingin seperti sekarang ini dibolehkan untuk menjama’? semoga Allah membalas kebaikan anda.
Jawab: Wa ‘alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh.
Manusia tidak boleh mempermudah dalam menjama’. Karena Allah Ta’ala berfirman:
…إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا (103) سورة النساء
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” (QS. An-Nisa: 103).
Dan juga firman-Nya:
أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا (78) سورة الإسراء.
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)” (QS. Al-Isro: 78).
Jika sholat adalah kewajiban yang waktunya tertentu, maka menjadi keharusan untuk melakukan kewajiban ini pada waktu yang telah ditentukan berdasarkan keumuman ayat: Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir (QS. Al-Isro: 78)
Dab Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hal ini dengan rinci, sebagaimana sabdanya (artinya):”Waktu Dhuhur, yaitu jika matahari telah tergelincir sampai bayangan seseorang sama dengan panjang tubuhnya saat Ashar belum tiba. Waktu Ashar, yaitu saat matahari belum menguning. Waktu Maghrib selama mega belum hilang, dan waktu ‘Isya sampai pertengahan malam” (HR. Muslim, no: 612).
Jika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi batasan waktunya dengan terperinci, maka melakukan sholat tidak pada waktunya termasuk melampaui batasan-batasan Allah.
Maka barangsiapa sholat sebelum waktunya dengan sengaja dan tahu, maka ia berdosa dan harus mengulanginya, namun jika tidak sengaja dan tidak tahu ia tidak berdosa tetapi harus mengulanginya. Dan hal ini berlaku juga bagi jama’ taqdim yang tanpa sebab syar’iy karena sholat yang maju waktunya tidak sah dan harus mengulanginya.
Barangsiapa yang mengakhirkan sholat dari waktunya dengan sengaja dan ia tahu, tanpa halangan, maka ia berdosa dan sholatnya tidak diterima menurut pendapat yang kuat. Hal ini juga berlaku bagi jama’ takhir tanpa sebab syar’iy karena sholat yang diakhirkan dari waktunya, menurut pendapat yang yang kuat tidak diterima.
Maka hendaknya setiap muslim takut kepada Allah Azza wa Jalla dan jangan menganggap mudah urusan yang bear ini.
Adapun riwayat dalam Shahih Muslim dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ sholat Dhuhur dan Ashar, Maghrib dan ‘Isya di Madinah bukan karena ketakutan dan bukan karena hujan. Ini bukan dalil untuk mempermudah masalah ini, karena Ibn Abbas radhiallahu ‘anhuma ditanya: Apa maksud dari hal iyu? Beliau menjawab: Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam ingin untuk tidak menyulitkan ummatnya. Ini adalah dalil bahwa alasan dibolehkannya jama’ karena ada kesulitan untuk melakukan setiap sholat pada waktunya. Maka jika seorang Muslim menemui kesulitan untuk melakukan setiap sholat pada waktunya, ia dibolehkan atau disunnahkan untuk menjama’nya. Namun jika tidak ada ia wajib melakukan setiap sholat pada waktunya.
Oleh karena itu jika hanya disebabkan karena dingin saja, tidak diperbolehkan menjama’ kecuali diiringi dengan udara yang membuat orang terganggu jika harus keluar menuju Masjid atau juga diiringi dengan salju yang mengganggu manusia.
Maka nasehatku untuk saudara-saudaraku kaum Muslimin utamanya para imam, hendaknya berhati-hati dalam masalah ini (menjama’ sholat, pent). Dan hendaknya ia memohon pertolongan Allah Azza wa Jalla untuk melaksanakan kewajiban ini sesuai dengan yang diridloi-Nya.
Ditulis oleh sekretaris Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin pada tanggal 8/7/1423 H.
0 komentar:
Posting Komentar